HIJRAH: Meneladani Tradisi Toleransi dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara

oleh: Hadi Pajarianto, Dosen Universitas Muhammadiyah Palopo

PALOPO TOPIKTERKINI. NET–Hari ini adalah tanggal 1 Muharram 1444 Hijriyah, setiap tahun diperingati oleh umat Islam sebagai salah satu momentum penting dalam kehidupan Nabi Muhammad saw, dan kaum muslimin.

Hijrah dari Makkah ke Madinah tidak hanya sekedar migrasi secara fisik karena berbagai ancaman yang diterima Nabi di Madinah, tetapi secara simbolik juga mencerminkan adanya transformasi dakwah Nabi, dari sebuah komunitas yang relatif homogen di Makkah menuju ke Madinah, sebagai peradaban yang lebih heterogen. Di Madinah terdapat kaum Nasrani, Yahudi, kaum Anshar sebagai penduduk asli, dan kaum Muhajirin (pendatang) yang bermigrasi dari Makkah ke Madinah.

Demi menghindari pengejaran para kafir Quraisy, Nabi Muhammad saw bersembunyi di dalam gua Tsur selama tiga hari tiga malam bersama Abubakar. Orang-orang kafir Makkah yang sejak semula memusuhi bahkan ingin membunuh Nabi, semakin bersemangat dengan adanya janji hadiah 100 unta jika berhasil membunuh Nabi Muhammad saw. Abubakar sangat mengkhawatirkan jika Nabi saw tertangkap dan dibunuh, maka akan terhentilah jalan dakwah membebaskan penduduk Makkah dari peradaban jahiliyah.

Ada beberapa bagian penting yang dapat dijadikan refleksi, bahwa perjuangan Nabi Muhammad saw terutama dalam peristiwa hijrah dan menegakkan peradaban “Al-Madinah Al-Munawwarah”, juga melibatkan umat beragama lain.

Tersebutlah nama Abdullah bin Uraiqith seorang penyembah Latta dan Uzza yang justru menjadi penyelamat Nabi Muhammad saw saat peristiwa yang sangat krusial, dimana Nabi saw akan dibunuh oleh orang-orang kafir Quraisy. Abdullah bin Uraiqith menjadi penunjuk arah dan mengambil rute yang tak biasa dilalui oleh pedagang pada saat itu. Dengan militansi dan loyalitas yang sangat hebat, Abdullah bin Uraiqith tidak tergiur oleh janji hadiah 100 ekor unta, dan tetap melaksanakan janjinya untuk mengantarkan Nabi Muhammad saw sampai ke Madinah dengan selamat.

Setelah selamat sampai di Madinah atas pertolongan non-Muslim yang bernama Abdullah bin Uraiqith, maka Nabi Muhammad saw mulai menyusun strategi untuk membangun peradaban yang mengakomodir semua kepentingan dari beberapa kelompok masyarakat yang berbeda.

Lahirlah traktat yang didasarkan pada kemajemukan masyarakat di Madinah, disebut Piagam Madinah. Piagam Madinah ini mengatur pola hidup bersama antara kaum Muslimin di satu pihak dengan orang-orang yang bukan Muslim pada pihak lain, dalam suatu masyarakat yang majemuk.

Lebih tepatnya lagi, antara kaum Muhajirin dan Anshar yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw dengan beberapa suku penganut agama Yahudi dan beberapa suku Arab penganut paganisme penyembah berhala.

Perjanjian politik ini kemudian ditulis dalam sebuah dokumen yang menurut para ahli merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia, The First Written Constitution in The World (Hamidullah, 1986).
Di Madinah inilah, semua agama dan suku dipersaudarakan oleh Nabi Muhammad saw dan bertemu dalam kesepakatan atau konsensus bersama.

Piagam Madinah bukan hanya sekedar perjanjian biasa, tetapi merupakan konsensus dasar sebagai menara toleransi dalam Islam.

Dokumen penting ini mengandung esensi menghargai perbedaan yang ada di antara beberapa kelompok dan golongan. Semua golongan akan bersatu membela negeri dari serangan kelompok luar, yang mencoba mengganggu kedaulatan Madinah.

Secara implisit, piagam Madinah lahir dari kecerdasan Nabi Muhammad saw dalam menyatukan semua faksi di sebuah daerah yang sangat berpotensi saling menghancurkan satu sama lain.

Dengan lahirnya Piagam madinah ini; pertama, semua suku yang beragama Islam bersatu membela Nabi saw menghancurkan ego Arabisme yang masih sangat kuat. Kaum Muhajirin dan kaum Anshar dipersatukan dalam bingkai kesamaan iman. Kedua, adanya toleransi antar umat beragama, dimana Islam, Yahudi, Nasrani, maupun Paganisme saling menghormati satu sama lain, dan bekerjasama dalam memajukan kepentingan bersama. Ketiga, adanya hubungan yang kuat antara agama dengan negara.

Nabi Muhammad saw tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi konsensus bersama yang diimplementasikan sehingga semua golongan atau agama merasa diberikan perlakuan yang sama.

Disinilah, kita sebagai bangsa dan negara belajar tentang toleransi yang sejak ribuan tahun yang lalu dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw. Tugas semua umat beragama di Indonesia bagaimana merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari rongrongan ideologi lain yang saat ini semakin dirasakan sangat kuat melakukan penetrasi dalam semua segmentasi kehidupan.

Pancasila harus dipandang sebagai “kalimatun sawa” atau konsensus dasar, tempat tangan semua anak bangsa diulurkan dan bergandeng tangan satu sama lain. Kaidahnya cukup sederhana, “mari saling tolong menolong terhadap apa yang kita sepakati, dan mari saling menghormati terhadap apa yang masih kita perselisihkan”. Dengan prinsip inilah, maka kualitas toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia akan semakin berkualita

(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *